pengunjung ku !

Tiada hari tanpa kekerasan; itulah realitas yang selalu terjadi di negeri kita ini. Manifestasinya macam-macam; tawur antar geng sekolahan, rebutan lahan parkir, selingkuh, karena kalah pilkada, demonstrasi anarkhis, penertiban pedagang kaki lima (maunya ditertibkan tapi malah muncul kekacauan); tindakan represif aparat, eksekusi rumah, amuk supporter, hingga ketersinggungan dan kecemburuan perilaku seksual antar/sesama jenis yang berujung pada kematian korban; tidak tanggung-tanggung, membunuh korban menjadi trend dengan cara mutilasi.

Sudah tidak adakah ruang damai di sekitar kita? Sudah sedemikian abnormalkah masyarakat kita? Sudah sedemikian parahkah anomali sosial di sekitar kita? Mengapa orang kemudian menjadi mudah sekali melakukan tindakan kekerasan baik itu atas nama kebenaran, kehormatan, politik, hukum, cinta, keindahan, dan bahkan atas nama hal-hal yang irrasional?

Bagaimana dengan fenomena tindak kekerasan di lingkungan pendidikan/sekolah dengan munculnya gang-gang sekolahan? Ah….., semakin buram saja wajah pendidikan kita. Jika Sahabat Blogger sempat menyaksikan berita yang menayangkan tindak kekerasan antar gang sekolahan -ajib-nya gangster itu sebagian merupakan sekumpulan siswi SMU Kupang NTT-ada yang nampak ganjil memang.

Keganjilan bukan pada pelakunya dan tindakan kekerasan yang dilakukannya. Keganjilan justeru terlihat pada bagaimana siswa-siswi di sekitar lokasi tersebut melakukan pembiaran; dengan cara mengadu domba, bertepuk tangan, sorak sorai mengeluarkan yel-yel seperti layaknya supporter atau cheerleaders.

Dari keganjilan tersebut bisa diasumsikan bahwa peristiwa perkelahian antar gang sekolah memang sudah didesign sedemikian rupa sehingga antara pelaku, sutradara dan supporter bisa menempatkan diri pada posisi sebagaimana direncanakan.

Bagaimana tidak demikian; nyatanya pihak-pihak yang melakukan pembiaran itu ada pada posisi psikologis yang sulit dinalar. Bukan melerai atau mengakhiri tawuran tersebut, malah menjadi supporter , provokator dan wasit sekaligus ada yang jadi kameraman mendokumentasikan peristiwa tersebut. Bangga kali yaaaaa dengan kekerasan?

Bapak/Ibu Guru, Bapak/Ibu Wali Kelas, Bapak/Ibu Kepala Sekolah, Bapak/Ibu orang tua siswa-siswi….., bagaimana jika trend tindak kekerasan sudah menjadi sebuah kebanggan? Menjadi memori yang terakumulasi dalam otak generasi negeri? Dari trend, ia bisa menjadi tradisi dan budaya di kemudian hari. Ini bukan sesuatu yang tidak mungkin, yang pada akhirnya, budaya kekerasan menjadi sesuatu yang lazim dilakukan.

Ironis memang, lembaga pendidikan semakin tercoreng sebab menjadi salah satu tempat munculnya berbagai macam tindak kekerasan dari kasus STPDN, tawuran antar mahasiswa di beberapa kampus, sampai yang terakhir Geng Nero dan tawuran antar geng /genk SMU Negeri Kupang NTT yang masih santer ditayangkan di televisi. Entah sampai kapan fenomena Budaya kekerasan ini akan berlangsung.


by : kangnawar.com

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda